Senin, 17 Januari 2011

Askep Keracunan

A. Pengertian.

Intoksikasi atau keracunan adalah masuknya zat atau senyawa kimia dalam tubuh manusia yang menimbulkan efek merugikan pada yang menggunakannya.
Istilah peptisida pada umumnya dipakai untuk semua bahan yang dipakai manusia untuk membasmi hama yang merugikan manusia.termasuk peptisida ini adalah insektisida. Ada 2 macam insektisuda yang paling benyak digunakan dalam pertanian :
1. Insektisida hidrokarbon khorin ( ihk=chlorinated hydrocarbon )
2. Isektida fosfat organic ( ifo =organo phosphatase insectisida )
yang paling sering digunakan adalah ifo yang pemakaiannya terus menerus meningkat. Sifat dari ifo adalah insektisida poten yang paling banyak digunakan dalam pertanian dengan toksisitas yang tinggi. Salah satu derivatnya adalah tabun dan sarin. Bahan ini dapat menembusi kulit yang normal (intact) juga dapaat diserap diparu dan saluran makanan,namun tidak berakumulasi dalam jaringan tubuh seperti golongan ihk.
Macam-macam ifo adalah malathion ( tolly ) paraathion,diazinon,basudin,paraoxon dan lain-lain. Ifo ada 2 macam adalah ifo murni dan golongan carbamate.salah satu contoh gol.carbamate adalah baygon.

B. Patogenesis.
Ifo bekerja dengan cara menghabat ( inaktivasi ) enzim asetikolinesterase tubuh ( khe).dalam keadaan normal enzim khe bekerja untuk menghidrolisis arakhnoid( akh ) dengan jalan mengikat akh –khe yang bersifat inaktif.bila konsentrasi racun lebih tinggi dengan ikatan ifo- khe lebih banyak terjadi. Akibatnya akan terjadi penumpukan akh ditempat-tempat tertentu, sehingga timbul gejala gejal;a ransangan akh yang berlebihan ,yang akan menimbulkan efek muscarinik, nikotinik dan ssp ( menimbulkan stimulasi kemudian depresi ssp )
pada keracunan ifo ,ikatan ikatan ifo – khe bersifat menetap (ireversibel ) ,sedangkan keracunan carbamate ikatan ini bersifat sementara (reversible ).secara farmakologis efek akh dapat dibagi 3 golongan :
1. Muskarini,terutama pada saluran pencernaan,kelenjar ludah dan keringat,pupil,bronkus dan jantung.
2. Nikotinik,terutama pada otot-otot skeletal,bola mata,lidah,kelopak mata dan otot pernafasan.
3. Ssp, menimbulkan nyeri kepala,perubahan emosi,kejang-kejang(konvulsi ) sampai koma.
C. Gambaran klinik.
Yang paling menonjol adalah kelainan visus,hiperaktifitas kelenjar ludah,keringat dan ggn saluran pencernaan,serta kesukaran bernafas.
Gejala ringan meliputi : anoreksia, nyeri kepala, rasa lemah,rasa takut, tremor pada lidah,kelopak mata,pupil miosis.
Keracunan sedang : nausea, muntah-muntah, kejang atau kram perut, hipersaliva, hiperhidrosis,fasikulasi otot dan bradikardi.
Keracunan berat : diare, pupil pi- poin, reaksi cahaya negatif ,sesak nafas, sianosis, edema paru .inkontenesia urine dan feces, kovulsi,koma, blokade jantung akhirnya meningal.

D. Pemeriksaan.
1. Laboratorik.
Pengukuran kadar khe dengan sel darah merah dan plasma, penting untuk memastikan diagnosis keracunan ifo akut maupun kronik (menurun sekian % dari harga normal ).
Kercunan akut : ringan : 40 - 70 %
sedang : 20 - 40 %
berat : < 20 %
keracunan kronik bila kadar khe menurun sampai 25 - 50 % setiap individu yang berhubungan dengan insektisida ini harus segara disingkirkan dan baru diizinkan bekerja kemballi kadar khe telah meningkat > 75 % n
2. Patologi anatomi ( pa ).
Pada keracunan acut,hasil pemeriksaan patologi biasanya tidak khas.sering hanya ditemukan edema paru,dilatsi kapiler,hiperemi paru,otak dan organ-oragan lainnya.

E. Penatalaksanaan.
1. Resusitasi.
Setelah jalan nafas dibebaskan dan dibersihkan,periksa pernafasan dan nadi.infus dextrose 5 % kec. 15- 20 tts/menit .,nafas buatan,oksigen,hisap lendir dalam saluran pernafasan,hindari obat-obatan depresan saluran nafas,kalu perlu respirator pada kegagalan nafas berat.hindari pernafasan buatan dari mulut kemulut, sebab racun organo fhosfat akan meracuni lewat mlut penolong.pernafasan buatan hanya dilakukan dengan meniup face mask atau menggunakan alat bag – valve – mask.
2. Eliminasi.
Emesis, merangsang penderita supaya muntah pada penderita yang sadar atau dengan pemeberian sirup ipecac 15 - 30 ml. Dapat diulang setelah 20 menit bila tidak berhasil.
Katarsis,( intestinal lavage ), dengan pemberian laksan bila diduga racun telah sampai diusus halus dan besar.
Kumbah lambung atau gastric lavage, pada penderita yang kesadarannya menurun,atau pada penderita yang tidak kooperatif.hasil paling efektif bila kumbah lambung dikerjakan dalam 4 jam setelah keracunan.
Keramas rambut dan memandikan seluruh tubuh dengan sabun.
Emesis,katarsis dan kumbah lambung sebaiknya hanya dilakukan bila keracunan terjadi kurang dari 4 – 6 jam . Pada koma derajat sedang hingga berat tindakan kumbah lambung sebaiknya dukerjakan dengan bantuan pemasangan pipa endotrakeal berbalon,untuk mencegah aspirasi pnemonia.

3. Anti dotum.
Atropin sulfat ( sa ) bekerja dengan menghambat efek akumulasi akh pada tempat penumpukan.
A. Mula-mula diberikan bolus iv 1 - 2,5 mg
b. Dilanjutkan dengan 0,5 – 1 mg setiap 5 - 10 - 15 menitsamapi timbulk gejala-gejala atropinisasi ( muka merah,mulut kering,takikardi,midriasis,febris dan psikosis).
C. Kemudian interval diperpanjang setiap 15 – 30 - 60 menit selanjutnya setiap 2 – 4 –6 – 8 dan 12 jam.
D. Pemberian sa dihentikan minimal setelaj 2 x 24 jam. Penghentian yang mendadak dapat menimbulkan rebound effect berupa edema paru dan kegagalan pernafasan akut yang sering fatal.

Asuhan keperawatan.

A. Pengkajian.
Pengkajian difokusakan padfa masalah yang mendesak seperti jalan nafas dan sirkulasi yang mengancam jiwa,adanya gangguan asam basa,keadaan status jantung,status kesadran.
Riwayat kesadaran : riwayat keracunan,bahan racun yang digunakan,berapa lama diketahui setelah keracunan,ada masalah lain sebagi pencetus keracunan dan sindroma toksis yang ditimbulkan dan kapan terjadinya.

B. Masalah keperawatan. Yang mungkin timbul adalah :
• tidak efektifnya pola nafas
• resiko tinggi kekurangan cairan tubuh.
• gangguan kesadaran
• tidak efektifnya koping individu.

C. Intervensi.
• pertolongan pertama yang dilakukan meliputi : tindakan umum yang bertujuan untuk keselamatan hidup,mencegah penyerapan dan penawar racun ( antidotum ) yan meliputi resusitasi, : air way, breathing, circulasi eliminasi untuk menghambat absorsi melalui pencernaaan dengan cara kumbah lambung,emesis, ata katarsis dan kerammas rambut.
• berikan anti dotum sesuai advis dokter minimal 2 x 24 jam yaitu pemberian sa.
• perawatan suportif; meliputi mempertahankan agar pasien tidak samapi demamatau mengigil,monitor perubahan-perubahan fisik seperti perubahan nadi yang cepat,distress pernafasan, sianosis, diaphoresis, dan tanda-tanda lain kolaps pembuluh darah dan kemungkinan fatal atau kematian.monitir vital sign setiap 15 menit untuk bebrapa jam dan laporkan perubahan segera kepada dokter.catat tanda-tanda seperti muntah,mual,dan nyeri abdomen serta monotor semua muntah akan adanya darah. Observasi fese dan urine serta pertahankan cairan intravenous sesuai pesanan dokter.
• jika pernafasan depresi ,berikan oksigen dan lakukan suction. Ventilator mungkin bisa diperlukan.
• jika keracunan sebagai uasaha untuk mebunuh diri maka lakukan safety precautions . Konsultasi psikiatri atau perawat psikiatri klinis. Pertimbangkan juga masalah kelainan kepribadian,reaksi depresi,psikosis .neurosis, mental retardasi dan lain-lain.

Sumber.

Emerton, d m ( 1989 ) principle and practise of nursing , university of quennsland press, australia.

Departemen kesehatan ri, ( 2000 ) resusitasi jantung, paru otak bantuan hidup lanjut ( advanced life support ) jakarta.

La/upf ilmu penyakit dalam rsud dr.soetomo surabaya,( 1994 ) pedoman diagnosis dan terapi, surabaya.

Phipps , ect, ( 1999 ) medikal surgical nursing : consept dan clinical pratise, mosby year book, toronto.

Sabtu, 15 Januari 2011

Askep KAD

 
PENGERTIAN
Ketoasidosis diabetikum adalah dekompensasi metabolik akibat defesiensi insulin absolut atau relatif dan merupakan komplikasi akut diabetes melitus yang serius. Gambaran klinis utama ketoasidosis diabetikum ( KAD) adalah hiperglikemia, ketosis, dan asidosis metabolik, faktor pencetus: infeksi, infark miokard akut, pankrealitis akut, penggunaan obat golingan steroid, penghentian atau pengurangan dosis insulin.




 

DIAGNOSIS
Klinis ;
• Keluhan poliuri,polidipsi
• Riwayat berhenti menyuntik insulin
• Demam /infeksi
• Muntah
• Nyeri perut
• Kesadaran ;kompos mentis,delirium ,koma
• Pernapasan cepat dan dalam (kussnaul)
• Dehidrasi (turgor kulit menurun ,lidah dan bibir kering)
• Dapat disertai syok hipovolemik

kriteria diagnosis :

kadar glukosa : >250 mg / dl
pH : < 7,35
HCO 3- ;rendah
Anion gap :tinggi
Keton serum : positf dan atau ketonuria

DIAGNOSIS BANDING
Ketosis diabetic,hiperglikemi hiperosmolar non ketotik /hyperglycemic,hyperosmolar state,ensefalopati uremikum,asidosis uremikum ,minum alcohol,ketosis alkoholik ,ketosis hipoglikemia ,ketosis starvasi ,asidosis laktat,asidosis hiperkloremik,kelebihan asisilat ,drug –induced acidosis ,ensepalopati karena infeksi,trauma kapatis,

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan cito ; gula darah ,elektrolit,ureum ,kreatinin ,aseton darah urin rutin,analisis gas darah ,EKG

Pemantauan :
• Gula darah ; tiap jam
• Na+,K+,CI- ; tiap 6 jam selama 24 jam ,selanjutnya sesuai keadaan.
• Analisis gas darah : bila pH <7 saat masuk –diperiksa selama 6 jam s,d,pH>7,1 selanjutnya setiap hari sampai setabil
• Pemeriksaan lain ( sesuai indikasi );kultur darah ,kultur urin ,kultur pus

TERAPI
Akses intravena (iv)2 jalur ,salah satunya dicabang dengan 3 way ;
I.cairan ;
 NaCI 0,9% diberikan kr,lbh1-2 pada
§ jam pertama ,lalu 1 L pada jam kedua ,lalu 0,5 L pada jam ketiga dan keempat ,dan 0,25 L pada jam kelima dan keenam ,selanjutnya sesuai kebutuhan .
§ Jumlah cairan yang diberikan dalam 15 jam sekitar 5 L
 Jika Na+
§>155 mEq/L – ganti cairan dengan NaCI 0,45 %
 Jika GD
§ <200 mg / dl – ganti cairan dengan dextrose 5 %

II.insulin (regular insulin = RI ):
• Diberikan setelah 2 jam rehidrasi cairan
• RI bolus 180 mU/KgBB IV ,dilanjutkan ;
• RI drip 90 mU/KgBB/jam dalam NaCI 0,9 %
• Jika GD <200 mg/dL;kecepatan dikurangi –RI drip 45 mU/kgBB/jam dalam NaCI 0,9 %
• Jika GD stabil 200-300 mg/dL selama 12 jam –RI drip 1-2 U / jam IV ,disertai slinding scale setiap 6 jam;

GD -- RI
(Mg/dl) ( unit ,subkutan )
<200 0
200—250=5
250—300=10
300—350=15
>350        =20

• jika kadar GD ada yang < 100 mg/dL;drip RI dihentikan
• setelah sliding scale tiap 6 jam ,dapat diperhitungkan kebutuhan insulin sehari --- dibagi 3 dosis sehari subkutan ,sebelum makan ( bila pasien sudah makan )

III. kalium
• kalium ( KCI ) drip dimulai bersaman dengan drip RI ,dengan dosis 50 mEq/ 6 jam ,syarat ;tidak ada gagal ginjal ,tidak ditemukan gelombang T yang lancip dan tinggi pada EKG ,dan jumlah urine cukup adekuat.
• Bila kadar K+ pada pemeriksaan elektrolit kedua :
<3,5 ----- drip KCI 75 mEq/6 jam
3,0 -- 4,5 ----- drip KCI 50 mEq/6 jam
4,5 -- 6,0 ----- drip KCI 25 mEq/6 jam
>6,0 ------ drip dihentikan
• Bila sudah sadar ,diberikan K+ oral selama seminggu

IV.Natrium bikarbonat
Drip 100 mEq bila pH < 7,0, disertai KCI 26 mEq drip
50 mEq bila pH 7,0 – 7,1 , disertai KCI 13 mEq drip
Juga diberikan pada asidosis laktat dan hiperkalemi yang mengancam

V. Tata laksana umum :
• Oksigen bila PO < 80 mm Hg
• Antibiotika adekuat
• Heparin ;bila ada KID satau hiperosmolar ( > 380 mOsm/L)terapi disesuaikan dengan pemantauan klinis
• Tekanan darah ,frekuensi nadi ,frekuensi pernapasan ,temperatur setiap jam
• Kesadaran setiap jam
• Keadaan hidrasi ( turgor ,lidah ) setiap jam
• Produksi urine setiap jam ,balans cairan
• Cairan infus yang masuk setiap jam
• Dan pemantauan labolatorik ( lihat pemeriksaan penunjang )

KOMPLIKASI
Syok hipovolemik ,edema paru ,hipertrgliseridemia,infark miokard akut ,hipoglikemia .hipokalemia ,hiperkloremia ,edema otak,hipokalsemia

PROGNOSIS
Dubia ad malam ,tergantung pada usia ,komorbid,adanya infark miokard akut ,sepsis ,syok.

WEWENANG
RS, pendidikan ;Dokter spesialis penyakit dalam dan ppds penyakit dalam dengan konsultasi pada konsulen penyakit dalam
RS, non pendidikan ; Dokter spesialis penyakit dalam

Asuhan Keperawatan Trauma Abdomen

A. Pengertian

Trauma adalah cedera fisik dan psikis, kekerasan yang mengakibatkan cedera (Sjamsuhidayat, 1997). Trauma pada abdomen dapat di bagi menjadi dua jenis.
Trauma penetrasi dan Trauma non penetrasi

1) Trauma penetrasi

a.Luka tembak
b. Luka tusuk

2) Trauma non-penetrasi

a. Kompresi
b. Hancur akibat kecelakaan
c. Sabuk pengaman
d. Cedera akselerasi

Trauma pada dinding abdomen terdiri kontusio dan laserasi.

1. Kontusio dinding abdomen disebabkan trauma non-penetrasi.

Kontusio dinding abdomen tidak terdapat cedera intra abdomen, kemungkinan terjadi eksimosis atau penimbunan darah dalam jaringan lunak dan masa darah dapat menyerupai tumor.

2. Laserasi,

jika terdapat luka pada dinding abdomen yang menembus rongga abdomen harus di eksplorasi (Sjamsuhidayat, 1997). Atau terjadi karena trauma penetrasi.
Trauma Abdomen adalah terjadinya atau kerusakan pada organ abdomen yang dapat menyebabkan perubahan fisiologi sehingga terjadi gangguan metabolisme, kelainan imonologi dan gangguan faal berbagai organ.

Trauma abdomen pada isi abdomen, menurut Sjamsuhidayat (1997) terdiri dari:

1. Perforasi organ viseral intraperitoneum

Cedera pada isi abdomen mungkin di sertai oleh bukti adanya cedera pada dinding abdomen

2. Luka tusuk (trauma penetrasi) pada abdomenLuka tusuk pada abdomen dapat menguji kemampuan diagnostik ahli bedah.

3. Cedera thorak abdomenSetiap luka pada thoraks yang mungkin menembus sayap kiri diafragma, atau sayap kanan dan hati harus dieksplorasi.

B. Etiologi


1. Penyebab trauma penetrasi

 Luka akibat terkena tembakan
Ø
 Luka akibat tikaman benda
Ø tajam
 Luka akibat tusukan
Ø

2. Penyebab trauma non-peneterasi

Ø Terkena kompresi atau tekanan dari luar tubuh
 Hancur (tertabrak mobil)
Ø
Ø Terjepit sabuk pengaman karna terlalu menekan perut
 Cidera akselerasi /
Ø deserasi karena kecelakaan olah raga

C. Patofisiologi

Jika terjadi trauma penetrasi atau non-pnetrasi kemungkinan terjadi pendarahan intra abdomen yang serius, pasien akan memperlihatkan tanda-tanda iritasi yang disertai penurunan hitung sel darah merah yang akhirnya gambaran klasik syok hemoragik. Bila suatu organ viseral mengalami perforasi, maka tanda-tanda perforasi, tanda-tanda iritasi peritonium cepat tampak. Tanda-tanda dalam trauma abdomen tersebut meliputi nyeri tekan, nyeri spontan, nyeri lepas dan distensi abdomen tanpa bising usus bila telah terjadi peritonitis umum.Bila syok telah lanjut pasien akan mengalami takikardi dan peningkatan suhu tubuh, juga terdapat leukositosis. Biasanya tanda-tanda peritonitis mungkin belum tampak. Pada fase awal perforasi kecil hanya tanda-tanda tidak khas yang muncul. Bila terdapat kecurigaan bahwa masuk rongga abdomen, maka operasi harus dilakukan (Sjamsuhidayat, 1997)

D. Manifestasi Klinis

KlinisKasus trauma abdomen ini bisa menimbulkan manifestasi klinis menurut Sjamsuhidayat (1997), meliputi: nyeri tekan diatas daerah abdomen, distensi abdomen, demam, anorexia, mual dan muntah, takikardi, peningkatan suhu tubuh, nyeri spontan.Pada trauma non-penetrasi (tumpul) pada trauma non penetrasi biasanya terdapat adanya

 Jejas atau
Ø ruktur dibagian dalam abdomen
 Terjadi perdarahan intra abdominal.
Ø
Ø Apabila trauma terkena usus, mortilisasi usus terganggu sehingga fungsi usus tidak normal dan biasanya akan mengakibatkan peritonitis dengan gejala mual, muntah, dan BAB hitam (melena)
 Kemungkinan bukti klinis tidak tampak sampai
Ø beberapa jam setelah rauma.
 Cedera serius dapat terjadi walaupun tak
Ø terlihat tanda kontusio pada dinding abdomen.

Pada trauma penetrasi biasanya terdapat:

 Terdapat luka robekan pada abdomen
Ø
 Luka tusuk
Ø sampai menembus abdomen
 Penanganan yang kurang tepat biasanya memperbanyak
Ø  Biasanya organ yang terkena penetrasi bisaØperdarahan/memperparah keadaan keluar dari dalam andomen

E. Pathways

TraumaOperasiTerjadi perforasiLapisan abdomen(kontusio,laserasiMenekan Syaraf Peritonitis Terjadi perdarahan dalam jarLunak dan rongga abdomenNyeriMotilitas usus Dilakukan tindakandrainDisfungsi usus resiko tinggi infeksiRefluks usus output cairan lebihPeningkatan Gg keseimbangan elektrolitmetabolismeDefisit vol Cairan dan elektrolitintake nutrisikurangKelemahanfisikGangg. Mobilitas (atur sendiri yaa..peace)

F. Penanganan Awal

Pengkajian yang dilakukan untuk menentukan masalah yang mengancam nyawa, harus mengkaji dengan cepat apa yang terjadi di lokasi kejadian. Paramedik mungkin harus melihat Apabila sudah ditemukan luka tikaman, luka trauma benda lainnya, maka harus segera ditangani, penilaian awal dilakuakan prosedur ABC jika ada indikasi, Jika korban tidak berespon, maka segera buka dan bersihkan jalan napas.

1. Airway, dengan Kontrol Tulang BelakangMembuka jalan napas menggunakan
teknik ‘head tilt chin lift’ atau menengadahkan kepala dan mengangkat dagu, periksa adakah benda asing yang dapat mengakibatkan tertutupnya jalan napas. Muntahan, makanan, darah atau benda asing lainnya.

2. Breathing, dengan Ventilasi Yang AdekuatMemeriksa pernapasan dengan menggunakan cara ‘lihat-dengar-rasakan’ tidak lebih dari 10 detik untuk memastikan apakah ada napas atau tidak, Selanjutnya lakukan pemeriksaan status respirasi korban (kecepatan, ritme dan adekuat tidaknya pernapasan).

3. Circulation,dengan Kontrol Perdarahan HebatJika pernapasan korban tersengal-sengal dan tidak adekuat, maka bantuan napas dapat dilakukan. Jika tidak ada tanda-tanda sirkulasi, lakukan resusitasi jantung paru segera. Rasio kompresi dada dan bantuan napas dalam RJP adalah 15 : 2 (15 kali kompresi dada dan 2 kali bantuan napas

1) Penanganan awal trauma non- penetrasi (trauma tumpul)

a. Stop makanan dan minuman
b. Imobilisasi
c. Kirim kerumah sakitd.

Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL)

Dilakukan pada trauma abdomen perdarahan intra abdomen, tujuan dari DPL adalah untuk mengetahui lokasi perdarahan intra abdomen. Indikasi untuk melakukan DPL, antara lain:(http://www.primarytraumacare.org/)

 Nyeri
Ø abdomen yang tidak bisa diterangkan sebabnya
 Trauma pada bagian bawah dari
Ø dada
 Hipotensi, hematokrit turun tanpa alasan yang jelas
Ø
 Pasien cidera
Ø abdominal dengan gangguan kesadaran (obat, alkohol, cedera otak)
 Pasien
Ø cedera abdominalis dan cidera bmedula spinalis (sumsum tulang belakang)
Ø Patah tulang pelvis

Pemeriksaan DPL dilakukan melalui anus, jika terdapt darah segar dalm BAB atau sekitar anus berarti trauma non-penetrasi (trauma tumpul) mengenai kolon atau usus besar, dan apabila darah hitam terdapat pada BAB atau sekitar anus berarti trauma non-penetrasi (trauma tumpul) usus halus atau lambung. Apabila telah diketahui hasil Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL), seperti adanya darah pada rektum atau pada saat BAB.

Perdarahan dinyatakan positif bila sel darah merah lebih dari 100.000 sel/mm³ dari 500 sel/mm³, empedu atau amilase dalam jumlah yang cukup juga merupakan indikasi untuk cedera abdomen. Tindakan selanjutnya akan dilakukan prosedur laparotomi

Kontra indikasi dilakukan Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL), antara lain:

 Hamil
Ø
 Pernah operasi abdominal
Ø
 Operator tidak
Ø berpengalaman
 Bila hasilnya tidak akan merubah penata-laksanaan
Ø

2) Penanganan awal trauma

3) Penetrasi (trauma tajam)

a. Bila terjadi luka tusuk, maka tusukan (pisau atau benda tajam lainnya) tidak boleh dicabut kecuali dengan adanya tim medis
b. Penanganannya bila terjadi luka tusuk cukup dengan melilitkan dengan kain kassa pada daerah antara pisau untuk memfiksasi pisau sehingga tidak memperparah luka.
c. Bila ada usus atau organ lain yang keluar, maka organ tersebut tidak dianjurkan dimasukkan kembali kedalam tubuh, kemudian organ yang keluar dari dalam tersebut dibalut kain bersih atau bila ada verban steril.
d. Imobilisasi pasien
e. Tidak dianjurkan memberi makan dan minum
f. Apabila ada luka terbuka lainnya maka balut luka dengan menekang.
g.Kirim ke rumah sakit

G. Penanganan di Rumah Sakit

1) Trauma penetrasi

Bila ada dugaan bahwa ada luka tembus dinding abdomen, seorang ahli bedah yang berpengalaman akan memeriksa lukanya secara lokal untuk menentukan dalamnya luka. Pemeriksaan ini sangat berguna bila ada luka masuk dan luka keluar yang berdekatan.
a. Skrinning pemeriksaan rongten.
Foto rongten torak tegak berguna untuk menyingkirkan kemungkinan hemo atau Pneumotoraks atau untuk menemukan adanya udara intraperitonium. Serta rongten abdomen sambil tidur (supine) untuk menentukan jalan peluru atau adanya udara retroperitoneum.

b. IVP atau Urogram Excretory dan CT ScanningIni di lakukan untuk mengetauhi jenis cedera ginjal yang ada.

c. Uretrografi.
Di lakukan untuk mengetauhi adanya rupture uretra

d. Sistografi
Ini di gunakan untuk mengetauhi ada tidaknya cedera pada kandung kencing, contohnya pada

1)fraktur pelvis.
2) Trauma non-penetrasi

Penanganan pada trauma benda tumpul di rumah sakit.

a. Pengambilan contoh darah dan urine
Darah di ambil dari salah satu vena permukaan untuk pemeriksaan laboratorium rutin, dan juga untuk pemeriksaan laboratorium khusus seperti pemeriksaan darah lengkap, potasium, glukosa, amilase.

b. Pemeriksaan RongtenPemeriksaan rongten servikal lateral, toraks anteroposterior dan pelvis adalah pemeriksaan yang harus di lakukan pada penderita dengan multi trauma, mungkin berguna untuk mengetauhi udara ekstraluminal di retroperitoneum atau udara bebas di bawah diafragma, yang keduanya memerlukan laparotomi segera.

c. Study kontras Urologi dan GastrointestinalDilakukan pada cedera yang meliputi daerah duodenum, kolon ascendens atau decendens dan dubur.


KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

I. Pengkajian Data

DasarPemeriksaan fisik ‘head to toe’ harus dilakukan dengan singkat tetapi menyeluruh dari bagian kepala ke ujung kaki.

Pengkajian data dasar menurut Doenges (2000), adalah:

1. Aktifitas/istirahat

Data Subyektif : Pusing, sakit kepala, nyeri, mulas,
Data Obyektif : Perubahan kesadaran, masalah dalam keseim Bangan cedera (trauma)

2. Sirkulasi

Data Obyektif: kecepatan (bradipneu, takhipneu), pola napas(hipoventilasi, hiperventilasi, dll),

3. Integritas ego

Data Subyektif : Perubahan tingkah laku/ kepribadian (tenangatau dramatis)
Data Obyektif : Cemas, Bingung, Depresi.

4. Eliminasi

Data Subyektif : Inkontinensia kandung kemih/usus ataumengalami gangguan fungsi.5. Makanan dan cairan
Data Subyektif : Mual, muntah, dan mengalami perubahanSelera makan.
Data Obyektif : Mengalami distensi abdomen.6. Neurosensori.Data Subyektif : Kehilangan kesadaran sementara, vertigoData Obyektif : Perubahan kesadaran bisa sampai koma,perubahan status mental,Kesulitan dalam menentukan posisi tubuh.

7. Nyeri dan kenyamanan

Data Subyektif : Sakit pada abdomen dengan intensitas danlokasi yang berbeda, biasanya lama.
Data Obyektif : Wajah meringis, gelisah, merintih.

8. PernafasanData Subyektif : Perubahan pola nafas.

9. KeamananData Subyektif : Trauma baru/ trauma karena kecelakaan.
Data Obyektif : Dislokasi gangg kognitif.Gangguan rentang gerak.

II. Focus intervensi

1. Defisit Volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan perdarahan

Tujuan : Terjadi keseimbangan volume cairan

Intervensi :

a. Kaji tanda-tanda vital
R/ untuk mengidentifikasi defisit volume cairan
b. Pantau cairan parenteral dengan elektrolit, antibiotik dan vitamin
R/ mengidentifikasi keadaan perdarahan
c. Kaji tetesan infus
R/ awasi tetesan untuk mengidentifikasi kebutuhan cairan
d. Kolaborasi : Berikan cairan parenteral sesuai indikasi.
R/ cara parenteral membantu memenuhi kebutuhan nuitrisi tubuh
e. Tranfusi darah
R/ menggantikan darah yang keluar

2. Nyeri berhubungan dengan adanya trauma abdomen atau luka penetrasi abdomen. (Doenges, 2000)

Tujuan : Nyeri Teratasi

Intervensi :

a. Kaji karakteristik nyeri
R/ mengetahui tingkat nyeri klien
b. Beri posisi semi fowler.
R/ mengurngi kontraksi abdomen
c. Anjurkan tehnik manajemen nyeri seperti distraksi
R/ membantu mengurangi rasa nyeri dengan mmengalihkan perhatian
d. Kolaborasi pemberian analgetik sesuai indikasi.
R/ analgetik membantu mengurangi rasa nyeri
e. Managemant lingkungan yang nyaman
R/ lingkungan yang nyaman dapat memberikan rasa nyaman klien

3. Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan pembedahan, tidak adekuatnya pertahanan tubuh

Tujuan : Tidak terjadi infeksi

Intervensi :

a. Kaji tanda-tanda infeksi
R/ mengidentifikasi adanya resiko infeksi lebih dini
b. Kaji keadaan luka
R/ keadaan luka yang diketahui lebih awal dapat mengurangi resiko infeksi
c. Kaji tanda-tanda vital
R/ suhu tubuh naik dapat di indikasikan adanya proses infeksi
d. Perawatan luka dengan prinsip sterilisasi
R/ teknik aseptik dapat menurunkan resiko infeksi nosokomial
e. Kolaborasi pemberian antibiotik
R/ antibiotik mencegah adanya infeksi bakteri dari luar

4. Ansietas berhubungan dengan krisis situasi dan perubahan status kesehatan

Tujuan: ansietas teratasi

Kriteria hasil:

a. Pasien mengungkapkan pemahaman penyakit saat ini
b. Pasien mendemontrasikan koping positif dalm menghadapi ansietas

Intervensi:

a. Kaji perilaku koping baru dan anjurkan penggunaan ketrampilan yang berhasil pada waktu lalu
R/ koopong yang baik akan mengurangi ansietas klien
b. Dorong dan sediakan waktu untuk mengungkapkan ansietas dan rasa takut dan berikan penanganan
R/ mengetahui nsietas, rasa takut klien bisa mengidentifikasi masalah dan umtuk memberikan penjelasan kepada klien
c. Jelaskan prosedur dan tindakan dan beri penguatan penjelasan mengenai penyakit
R/ apabila kliem tahu tentang prosedur dan tindakan yang akan dilakukan, klien mengerti dan diharapkan ansietas berkurang
d. Pertahankan lingkungan yang tenang dan tanpa stres
R/ lingkungan yang nyaman dapat membuat klien nyaman dalam menghadapi situasi
e. Dorong dan dukungan orang terdekat
R/ memotifasi klien

5. Gangguan Mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan fisik (Doenges, 2000)

Tujuan : Dapat bergerak bebas

Intervensi :

a. Kaji kemampuan pasien untuk bergerak
R/ identifikasi kemampuan klien dalam mobilisasi
b. Dekatkan peralatan yang dibutuhkan pasien
R/ meminimalisir pergerakan lien
c. Berikan latihan gerak aktif pasif
R/ melatih otot-otot klien
d. Bantu kebutuhan pasien
R/ membantu dalam mengatasi kebutuhan dasar klien
e. Kolaborasi dengan ahli fisioterapi.
R/ terapi fisioterapi dapat memulihkan kondisi klien

DAFTAR PUSTAKA

Sjamsuhidayat. 1997, Buku Ajar Bedah,EC, Jakarta.
Doenges. 2000, Rencana Asuhan Keperawatan:
Pedoman untuk perencanaan dan Pendokumentasian perawatan pasien, Edisi 3, EGC, Jakarta.Carpenito, 1998 Buku saku: Diagnosa Keperawatan Aplikasi Pada Praktek Klinis, Edisi 6, EGC ; Jakarta.Mansjoer, Arif. 2001.
Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1.UI : Media Aesculapiushttp://health.groups.yahoo.com/group/indofirstaid/24,04,2008 12.29amhttp://indofirstaid.tk/04,24,2008 12.30amhttp://titik-awal.blogspot.com/ 04,24,2008 13.00amhttp://www.primarytraumacare.org/ptcmam/training/ppd/ptc_indo.pdf/ 04,24,2008 13.10am

ASKEP FRAKTUR

 
I. PENGERTIAN
Fraktur adalah putusnya hubungan normal suatu tulang atau tulang rawan yang disebabkan oleh kekerasan. (E. Oerswari, 1989 : 144).
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, 2000 : 347).
Fraktur tertutup adalah bila tidak ada hubungan patah tulang dengan dunia luar. Fraktur terbuka adalah fragmen tulang meluas melewati otot dan kulit, dimana potensial untuk terjadi infeksi (Sjamsuhidajat, 1999 : 1138).
Fraktur femur adalah terputusnya kontinuitas batang femur yang bisa terjadi akibat trauma langsung (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian), dan biasanya lebih banyak dialami oleh laki-laki dewasa. Patah pada daerah ini dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak, mengakibatkan pendertia jatuh dalam syok (FKUI, 1995:543)
Fraktur olecranon adalah fraktur yang terjadi pada siku yang disebabkan oleh kekerasan langsung, biasanya kominuta dan disertai oleh fraktur lain atau dislokasi anterior dari sendi tersebut (FKUI, 1995:553).

II. ETIOLOGI
Menurut Sachdeva (1996), penyebab fraktur dapat dibagi menjadi tiga yaitu :
a. Cedera traumatik
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh :
1) Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang pata secara spontan. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada kulit diatasnya.
2) Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur dan menyebabkan fraktur klavikula.
3) Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot yang kuat.
b. Fraktur Patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan trauma minor dapat mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi pada berbagai keadaan berikut :
1) Tumor tulang (jinak atau ganas) : pertumbuhan jaringan baru yang tidak terkendali dan progresif.
2) Infeksi seperti osteomielitis : dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau dapat timbul sebagai salah satu proses yang progresif, lambat dan sakit nyeri.
3) Rakhitis : suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi Vitamin D yang mempengaruhi semua jaringan skelet lain, biasanya disebabkan oleh defisiensi diet, tetapi kadang-kadang dapat disebabkan kegagalan absorbsi Vitamin D atau oleh karena asupan kalsium atau fosfat yang rendah.
c. Secara spontan : disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus misalnya pada penyakit polio dan orang yang bertugas dikemiliteran.

III. KLASIFIKASI FRAKTUR FEMUR
a. Fraktur tertutup (closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar.
b. Fraktur terbuka (open/compound), bila terdapat hubungan antara fragemen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukan di kulit, fraktur terbuka dibagi menjadi tiga derajat, yaitu :
1) Derajat I
- luka kurang dari 1 cm
- kerusakan jaringan lunak sedikit tidak ada tanda luka remuk.
- fraktur sederhana, tranversal, obliq atau kumulatif ringan.
- Kontaminasi ringan.
2) Derajat II
- Laserasi lebih dari 1 cm
- Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, avulse
- Fraktur komuniti sedang.
3) Derajat III
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas meliputi struktur kulit, otot dan neurovaskuler serta kontaminasi derajat tinggi.
c. Fraktur complete
• Patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami pergerseran (bergeser dari posisi normal).
d. Fraktur incomplete
• Patah hanya terjadi pada sebagian dari garis tengah tulang.
e. Jenis khusus fraktur
a) Bentuk garis patah
1) Garis patah melintang
2) Garis pata obliq
3) Garis patah spiral
4) Fraktur kompresi
5) Fraktur avulsi
b) Jumlah garis patah
1) Fraktur komunitif garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.
2) Fraktur segmental garis patah lebih dari satu tetapi saling berhubungan
3) Fraktur multiple garis patah lebih dari satu tetapi pada tulang yang berlainan.
c) Bergeser-tidak bergeser
 Fraktur tidak bergeser garis patali kompli tetapi
ü kedua fragmen tidak bergeser.
 Fraktur bergeser, terjadi pergeseran
ü fragmen-fragmen fraktur yang juga disebut di lokasi fragmen (Smeltzer, 2001:2357).

IV. PATOFISIOLOGI


Proses penyembuhan luka terdiri dari beberapa fase yaitu :
1. Fase hematum
• Dalam waktu 24 jam timbul perdarahan, edema, hematume disekitar fraktur
• Setelah 24 jam suplai darah di sekitar fraktur meningkat
2. Fase granulasi jaringan
• Terjadi 1 – 5 hari setelah injury
• Pada tahap phagositosis aktif produk neorosis
• Itematome berubah menjadi granulasi jaringan yang berisi pembuluh darah baru fogoblast dan osteoblast.
3. Fase formasi callus
• Terjadi 6 – 10 harisetelah injuri
• Granulasi terjadi perubahan berbentuk callus
4. Fase ossificasi
• Mulai pada 2 – 3 minggu setelah fraktur sampai dengan sembuh
• Callus permanent akhirnya terbentuk tulang kaku dengan endapan garam kalsium yang menyatukan tulang yang patah
5. Fase consolidasi dan remadelling
• Dalam waktu lebih 10 minggu yang tepat berbentuk callus terbentuk dengan oksifitas osteoblast dan osteuctas (Black, 1993 : 19 ).

V. TANDA DAN GEJALA
1. Deformitas
Daya terik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang berpindah dari tempatnya perubahan keseimbangan dan contur terjadi seperti :
a. Rotasi pemendekan tulang
b. Penekanan tulang
2. Bengkak : edema muncul secara cepat dari lokasi dan ekstravaksasi darah dalam jaringan yang berdekatan dengan fraktur
3. Echumosis dari Perdarahan Subculaneous
4. Spasme otot spasme involunters dekat fraktur
5. Tenderness/keempukan
6. Nyeri mungkin disebabkan oleh spasme otot berpindah tulang dari tempatnya dan kerusakan struktur di daerah yang berdekatan.
7. Kehilangan sensasi (mati rasa, mungkin terjadi dari rusaknya saraf/perdarahan)
8. Pergerakan abnormal
9. Shock hipovolemik hasil dari hilangnya darah
10. Krepitasi (Black, 1993 : 199).

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Foto Rontgen
 Untuk mengetahui lokasi fraktur dan garis
- fraktur secara langsung
 Mengetahui tempat dan type fraktur
-
Biasanya diambil sebelum dan sesudah dilakukan operasi dan selama proses penyembuhan secara periodik
2. Skor tulang tomography, skor C1, Mr1 : dapat digunakan mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
3. Artelogram dicurigai bila ada kerusakan vaskuler
4. Hitung darah lengkap HT mungkin meningkat ( hemokonsentrasi ) atau menrurun ( perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multiple)
Peningkatan jumlah SDP adalah respon stres normal setelah trauma
5. Profil koagulasi perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah transfusi multiple atau cedera hati (Doenges, 1999 : 76 ).

VII. PENATALAKSANAAN
1. Fraktur Reduction
 Manipulasi atau
- penurunan tertutup, manipulasi non bedah penyusunan kembali secara manual dari fragmen-fragmen tulang terhadap posisi otonomi sebelumnya.
 Penurunan
- terbuka merupakan perbaikan tulang terusan penjajaran insisi pembedahan, seringkali memasukkan internal viksasi terhadap fraktur dengan kawat, sekrup peniti plates batang intramedulasi, dan paku. Type lokasi fraktur tergantung umur klien.
Peralatan traksi :
o Traksi kulit biasanya untuk pengobatan jangka pendek
o Traksi otot atau pembedahan biasanya untuk periode jangka panjang.
2. Fraktur Immobilisasi
 Pembalutan (gips)
-
 Eksternal
- Fiksasi
 Internal Fiksasi
-
 Pemilihan Fraksi
-
3. Fraksi terbuka
- Pembedahan debridement dan irigrasi
 Imunisasi tetanus
-
 Terapi
- antibiotic prophylactic
 Immobilisasi (Smeltzer, 2001).
-


MANAJEMEN KEPERAWATAN

I. PENGKAJIAN
Pengkajian adalah langkah awal dan dasar dalam proses keperawatan secara menyeluruh (Boedihartono, 1994 : 10).
Pengkajian pasien Post op frakture Olecranon (Doenges, 1999) meliputi :
a. Sirkulasi
Gejala : riwayat masalah jantung, GJK, edema pulmonal, penyakit vascular perifer, atau stasis vascular (peningkatan risiko pembentukan trombus).
b. Integritas ego
Gejala : perasaan cemas, takut, marah, apatis ; factor-faktor stress multiple, misalnya financial, hubungan, gaya hidup.
Tanda : tidak dapat istirahat, peningkatan ketegangan/peka rangsang ; stimulasi simpatis.
c. Makanan / cairan
Gejala : insufisiensi pancreas/DM, (predisposisi untuk hipoglikemia/ketoasidosis) ; malnutrisi (termasuk obesitas) ; membrane mukosa yang kering (pembatasan pemasukkan / periode puasa pra operasi).
d. Pernapasan
Gejala : infeksi, kondisi yang kronis/batuk, merokok.
e. Keamanan
Gejala : alergi/sensitive terhadap obat, makanan, plester, dan larutan ; Defisiensi immune (peningkaan risiko infeksi sitemik dan penundaan penyembuhan) ; Munculnya kanker / terapi kanker terbaru ; Riwayat keluarga tentang hipertermia malignant/reaksi anestesi ; Riwayat penyakit hepatic (efek dari detoksifikasi obat-obatan dan dapat mengubah koagulasi) ; Riwayat transfuse darah / reaksi transfuse.
Tanda : menculnya proses infeksi yang melelahkan ; demam.
f. Penyuluhan / Pembelajaran
Gejala : pengguanaan antikoagulasi, steroid, antibiotic, antihipertensi, kardiotonik glokosid, antidisritmia, bronchodilator, diuretic, dekongestan, analgesic, antiinflamasi, antikonvulsan atau tranquilizer dan juga obat yang dijual bebas, atau obat-obatan rekreasional. Penggunaan alcohol (risiko akan kerusakan ginjal, yang mempengaruhi koagulasi dan pilihan anastesia, dan juga potensial bagi penarikan diri pasca operasi).

II. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan adalah suatu penyatuan dari masalah pasien yang nyata maupun potensial berdasarkan data yang telah dikumpulkan (Boedihartono, 1994 : 17).
Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien dengan post op fraktur (Wilkinson, 2006) meliputi :
1. Nyeri berhubungan dengan terputusnya jaringan tulang, gerakan fragmen tulang, edema dan cedera pada jaringan, alat traksi/immobilisasi, stress, ansietas
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan dispnea, kelemahan/keletihan, ketidak edekuatan oksigenasi, ansietas, dan gangguan pola tidur.
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan, perubahan status metabolik, kerusakan sirkulasi dan penurunan sensasi dibuktikan oleh terdapat luka / ulserasi, kelemahan, penurunan berat badan, turgor kulit buruk, terdapat jaringan nekrotik.
4. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri/ketidak nyamanan, kerusakan muskuloskletal, terapi pembatasan aktivitas, dan penurunan kekuatan/tahanan.
5. Risiko infeksi berhubungan dengan stasis cairan tubuh, respons inflamasi tertekan, prosedur invasif dan jalur penusukkan, luka/kerusakan kulit, insisi pembedahan.
6. Kurang pengetahuan tantang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang terpajan/mengingat, salah interpretasi informasi.

III. INTERVENSI DAN IMPLEMENTASI
Intervensi adalah penyusunan rencana tindakan keperawatan yang akan dilaksanakan untuk menanggulangi masalah sesuai dengan diagnosa keperawatan (Boedihartono, 1994:20)
Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan (Effendi, 1995:40).
Intervensi dan implementasi keperawatan yang muncul pada pasien dengan post op frakture Olecranon (Wilkinson, 2006) meliputi :
1. Nyeri adalah pengalaman sensori serta emosi yang tidak menyenangkan dan meningkat akibat adanya kerusakan jaringan aktual atau potensial, digambarkan dalam istilah seperti kerusakan ; awitan yang tiba-tiba atau perlahan dari intensitas ringan samapai berat dengan akhir yang dapat di antisipasi atau dapat diramalkan dan durasinya kurang dari enam bulan.
Tujuan : nyeri dapat berkurang atau hilang.
Kriteria Hasil : - Nyeri berkurang atau hilang
- Klien tampak tenang.
Intervensi dan Implementasi :
a. Lakukan pendekatan pada klien dan keluarga
R/ hubungan yang baik membuat klien dan keluarga kooperatif
b. Kaji tingkat intensitas dan frekwensi nyeri
R/ tingkat intensitas nyeri dan frekwensi menunjukkan skala nyeri
c. Jelaskan pada klien penyebab dari nyeri
R/ memberikan penjelasan akan menambah pengetahuan klien tentang nyeri.

d. Observasi tanda-tanda vital.
R/ untuk mengetahui perkembangan klien
e. Melakukan kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgesik
R/ merupakan tindakan dependent perawat, dimana analgesik berfungsi untuk memblok stimulasi nyeri.

2. Intoleransi aktivitas adalah suatu keadaaan seorang individu yang tidak cukup mempunyai energi fisiologis atau psikologis untuk bertahan atau memenuhi kebutuhan atau aktivitas sehari-hari yang diinginkan.
Tujuan : pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.
Kriteria hasil : - perilaku menampakan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan diri.
- pasien mengungkapkan mampu untuk melakukan beberapa aktivitas tanpa dibantu.
- Koordinasi otot, tulang dan anggota gerak lainya baik.
Intervensi dan Implementasi :
a. Rencanakan periode istirahat yang cukup.
R/ mengurangi aktivitas yang tidak diperlukan, dan energi terkumpul dapat digunakan untuk aktivitas seperlunya secar optimal.
b. Berikan latihan aktivitas secara bertahap.
R/ tahapan-tahapan yang diberikan membantu proses aktivitas secara perlahan dengan menghemat tenaga namun tujuan yang tepat, mobilisasi dini.
c. Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhan sesuai kebutuhan.
R/ mengurangi pemakaian energi sampai kekuatan pasien pulih kembali.
d. Setelah latihan dan aktivitas kaji respons pasien.
R/ menjaga kemungkinan adanya respons abnormal dari tubuh sebagai akibat dari latihan.

3. Kerusakan integritas kulit adalah keadaan kulit seseorang yang mengalami perubahan secara tidak diinginkan.
Tujuan : Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai.
Kriteria Hasil : - tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
- luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
- Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi dan Implementasi :
a. Kaji kulit dan identifikasi pada tahap perkembangan luka.
R/ mengetahui sejauh mana perkembangan luka mempermudah dalam melakukan tindakan yang tepat.
b. Kaji lokasi, ukuran, warna, bau, serta jumlah dan tipe cairan luka.
R/ mengidentifikasi tingkat keparahan luka akan mempermudah intervensi.
c. Pantau peningkatan suhu tubuh.
R/ suhu tubuh yang meningkat dapat diidentifikasikan sebagai adanya proses peradangan.
d. Berikan perawatan luka dengan tehnik aseptik. Balut luka dengan kasa kering dan steril, gunakan plester kertas.
R/ tehnik aseptik membantu mempercepat penyembuhan luka dan mencegah terjadinya infeksi.
e. Jika pemulihan tidak terjadi kolaborasi tindakan lanjutan, misalnya debridement.
R/ agar benda asing atau jaringan yang terinfeksi tidak menyebar luas pada area kulit normal lainnya.
f. Setelah debridement, ganti balutan sesuai kebutuhan.
R/ balutan dapat diganti satu atau dua kali sehari tergantung kondisi parah/ tidak nya luka, agar tidak terjadi infeksi.
g. Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi.
R / antibiotik berguna untuk mematikan mikroorganisme pathogen pada daerah yang berisiko terjadi infeksi.

4. Hambatan mobilitas fisik adalah suatu keterbatasan dalam kemandirian, pergerakkan fisik yang bermanfaat dari tubuh atau satu ekstremitas atau lebih.
Tujuan : pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.
Kriteria hasil : - penampilan yang seimbang..
- melakukan pergerakkan dan perpindahan.
- mempertahankan mobilitas optimal yang dapat di toleransi, dengan karakteristik :
 0 = mandiri penuh
ü
 1 = memerlukan
ü alat Bantu.
 2 = memerlukan bantuan dari orang lain untuk bantuan,
ü pengawasan, dan pengajaran.
 3 = membutuhkan bantuan dari orang lain dan
ü alat Bantu.
 4 = ketergantungan; tidak berpartisipasi dalam
ü aktivitas.
Intervensi dan Implementasi :
g. Kaji kebutuhan akan pelayanan kesehatan dan kebutuhan akan peralatan.
R/ mengidentifikasi masalah, memudahkan intervensi.
h. Tentukan tingkat motivasi pasien dalam melakukan aktivitas.
R/ mempengaruhi penilaian terhadap kemampuan aktivitas apakah karena ketidakmampuan ataukah ketidakmauan.
i. Ajarkan dan pantau pasien dalam hal penggunaan alat bantu.
R/ menilai batasan kemampuan aktivitas optimal.
j. Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif.
R/ mempertahankan /meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot.
k. Kolaborasi dengan ahli terapi fisik atau okupasi.
R/ sebagai suaatu sumber untuk mengembangkan perencanaan dan mempertahankan/meningkatkan mobilitas pasien.

5. Risiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan perifer, perubahan sirkulasi, kadar gula darah yang tinggi, prosedur invasif dan kerusakan kulit.
Tujuan : infeksi tidak terjadi / terkontrol.
Kriteria hasil : - tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
- luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
- Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi dan Implementasi :
a. Pantau tanda-tanda vital.
R/ mengidentifikasi tanda-tanda peradangan terutama bila suhu tubuh meningkat.
b. Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptik.
R/ mengendalikan penyebaran mikroorganisme patogen.
c. Lakukan perawatan terhadap prosedur inpasif seperti infus, kateter, drainase luka, dll.
R/ untuk mengurangi risiko infeksi nosokomial.
d. Jika ditemukan tanda infeksi kolaborasi untuk pemeriksaan darah, seperti Hb dan leukosit.
R/ penurunan Hb dan peningkatan jumlah leukosit dari normal bisa terjadi akibat terjadinya proses infeksi.
e. Kolaborasi untuk pemberian antibiotik.
R/ antibiotik mencegah perkembangan mikroorganisme patogen.

6. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang terpajan/mengingat, salah interpretasi informasi.
Tujuan : pasien mengutarakan pemahaman tentang kondisi, efek prosedur dan proses pengobatan.
Kriteria Hasil : - melakukan prosedur yang diperlukan dan menjelaskan alasan dari suatu tindakan.
- memulai perubahan gaya hidup yang diperlukan dan ikut serta dalam regimen perawatan.
Intervensi dan Implementasi:
a. Kaji tingkat pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakitnya.
R/ mengetahui seberapa jauh pengalaman dan pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakitnya.
b. Berikan penjelasan pada klien tentang penyakitnya dan kondisinya sekarang.
R/ dengan mengetahui penyakit dan kondisinya sekarang, klien dan keluarganya akan merasa tenang dan mengurangi rasa cemas.
c. Anjurkan klien dan keluarga untuk memperhatikan diet makanan nya.
R/ diet dan pola makan yang tepat membantu proses penyembuhan.
d. Minta klien dan keluarga mengulangi kembali tentang materi yang telah diberikan.
R/ mengetahui seberapa jauh pemahaman klien dan keluarga serta menilai keberhasilan dari tindakan yang dilakukan.

IV. EVALUASI
Evaluasi addalah stadium pada proses keperawatan dimana taraf keberhasilan dalam pencapaian tujuan keperawatan dinilai dan kebutuhan untuk memodifikasi tujuan atau intervensi keperawatan ditetapkan (Brooker, 2001).
Evaluasi yang diharapkan pada pasien dengan post operasi fraktur adalah :
1. Nyeri dapat berkurang atau hilang setelah dilakukan tindakan keperawatan.
2. Pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.
3. Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai
4. Pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.
5. Infeksi tidak terjadi / terkontrol
6. Pasien mengutarakan pemahaman tentang kondisi, efek prosedur dan proses pengobatan.

DAFTAR PUSTAKA


Black, Joyce M. 1993. Medical Surgical Nursing. W.B Sainders Company : Philadelpia
Boedihartono, 1994, Proses Keperawatan di Rumah Sakit. EGC : Jakarta.
Brooker, Christine. 2001. Kamus Saku Keperawatan. EGC : Jakarta.
Brunner dan Suddarth, 2002, Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 3, EGC, Jakarta
Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3. EGC : Jakarta.
E. Oerswari 1989, Bedah dan Perawatannya, PT Gramedia. Jakarta
Nasrul, Effendi. 1995. Pengantar Proses Keperawatan. EGC. Jakarta.
Sjamsuhidajat, R. dan Wim de Jong. 1998. Buku Ajar Imu Bedah, Edisi revisi. EGC : Jakarta
Wilkinson, Judith M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan, edisi 7. EGC : Jakarta.
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah dari Brunner & Suddarth, Edisi 8. EGC : Jakarta.

Askep CEDERA KEPALA




A. PENGERTIAN
Cidera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan (accelerasi - decelerasi ) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan faktor dan penurunan kecepatan, serta notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada tindakan pencegahan.

B. PATOFISIOLOGI
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg %, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik.
Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 - 60 ml / menit / 100 gr. jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output.
Trauma kepala meyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas atypical-myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udem paru. Perubahan otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P dan disritmia, fibrilasi atrium dan vebtrikel, takikardia.
Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi . Pengaruh persarafan simpatik dan parasimpatik pada pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar.


Cedera kepala menurut patofisiologi dibagi menjadi dua :

1. Cedera kepala primer
Akibat langsung pada mekanisme dinamik (acelerasi - decelerasi rotasi ) yang menyebabkan gangguan pada jaringan.
Pada cedera primer dapat terjadi :
Gegar kepala ringan
Memar otak
Laserasi 
2. Cedera kepala sekunder
1.    Pada cedera kepala sekunder akan timbul gejala, seperti :
2.    Hipotensi sistemik
3.    Hipoksia
4.    Hiperkapnea
5.    Udema otak
6.    Komplikasi pernapasan
7.    infeksi / komplikasi pada organ tubuh yang lain

C. PERDARAHAN YANG SERING DITEMUKAN
1. Epidural Hematoma
Terdapat pengumpulan darah di antara tulang tengkorak dan duramater akibat pecahnya pembuluh darah / cabang - cabang arteri meningeal media yang terdapat di duramater, pembuluh darah ini tidak dapat menutup sendiri  karena itu sangat berbahaya. Dapat terjadi dalam beberapa jam sampai 1-2 hari. Lokasi yang paling sering yaitu di lobus temporalis dan parietalis.

Gejala-gejala yang terjadi :
Penurunan tingkat kesadaran, Nyeri kepala, Muntah, Hemiparesis, Dilatasi pupil ipsilateral, Pernapasan dalam cepat kemudian dangkal irreguler, Penurunan nadi, Peningkatan suhu
2. Subdural Hematoma
Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat terjadi akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena / jembatan vena yang biasanya terdapat diantara duramater, perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut terjadi dalam 48 jam - 2 hari atau 2 minggu dan kronik dapat terjadi dalam 2 minggu atau beberapa bulan.
Tanda-tanda dan gejalanya adalah : nyeri kepala, bingung, mengantuk, menarik diri, berfikir lambat, kejang dan udem pupil
Perdarahan intracerebral berupa perdarahan di jaringan otak karena pecahnya pembuluh darah arteri; kapiler; vena.
Tanda dan gejalanya :
Nyeri kepala, penurunan kesadaran, komplikasi pernapasan, hemiplegia kontra lateral, dilatasi pupil, perubahan tanda-tanda vital
3. Perdarahan Subarachnoid
Perdarahan di dalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh darah  dan permukaan otak, hampir selalu ada pad cedera kepala yang hebat.
Tanda dan gejala :
Nyeri kepala, penurunan kesadaran, hemiparese, dilatasi pupil ipsilateral dan kaku kuduk

ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
Pengumpulan data klien baik subyektif atau obyektif pada gangguan sistem persarafan sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada bentuk, lokasi, jenis injuri dan adanya komplikasi pada organ vital lainnya. Data yang perlu didapati adalah sebagai berikut :

1.    Identitas klien dan keluarga (penanggung jawab): nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa, status perkawinan, alamat, golongan darah, pengahasilan, hubungan klien dengan penanggung jawab.

2.    Riwayat kesehatan :
Tingkat kesadaran/GCS (< 15), konvulsi, muntah, dispnea / takipnea, sakit kepala, wajah simetris / tidak, lemah, luka di kepala, paralise, akumulasi sekret pada saluran napas, adanya liquor dari hidung dan telinga dan kejang
Riwayat penyakit dahulu haruslah diketahui baik yang berhubungan dengan sistem persarafan maupun penyakit sistem sistemik lainnya. demikian pula riwayat penyakit keluarga terutama yang mempunyai penyakit menular.
Riwayat kesehatan tersebut dapat dikaji dari klien atau keluarga sebagai data subyektif. Data-data ini sangat berarti karena dapat mempengaruhi prognosa klien.

3.    Pemeriksaan Fisik
Aspek neurologis yang dikaji adalah tingkat kesadaran, biasanya GCS < 15, disorientasi orang, tempat dan waktu. Adanya refleks babinski yang positif, perubahan nilai tanda-tanda vital kaku kuduk, hemiparese.
Nervus cranialis dapat terganggu bila cedera kepala meluas sampai batang otak karena udema otak atau perdarahan otak juga mengkaji nervus I, II, III, V, VII, IX, XII.

4.    Pemeriksaan Penujang
·         CT-Scan (dengan atau tanpa kontras) : mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri.
·         MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
·         Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
·         Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
·         X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.
·         BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
·         PET: Mendeteksi perubahan aktivitas  metabolisme otak
·         CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.
·         ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah  pernapasan (oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial
·         Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan intrkranial
·         Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan kesadaran.

Penatalaksanaan
Konservatif:
·         Bedrest total
·         Pemberian obat-obatan
·         Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran)

Prioritas Perawatan:
1.    Maksimalkan perfusi / fungsi otak
2.    Mencegah komplikasi
3.    Pengaturan fungsi secara optimal / mengembalikan ke fungsi normal
4.    Mendukung proses pemulihan koping klien / keluarga
5.    Pemberian informasi tentang proses penyakit, prognosis, rencana pengobatan, dan rehabilitasi.
Tujuan:
1.    Fungsi otak membaik : defisit neurologis berkurang/tetap
2.    Komplikasi tidak terjadi
3.    Kebutuhan sehari-hari dapat dipenuhi sendiri atau dibantu orang lain
4.    Keluarga dapat menerima kenyataan dan berpartisipasi dalam perawatan
5.    Proses penyakit, prognosis, program pengobatan dapat dimengerti oleh keluarga sebagai sumber informasi.   

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa Keperawatan yang biasanya muncul adalah:
1.    Tidak efektifnya pola napas sehubungan dengan depresi pada pusat napas di otak.
2.    Tidakefektifnya kebersihan jalan napas sehubungan dengan penumpukan sputum.
3.    Gangguan perfusi jaringan otak sehubungan dengan udem otak
4.    Keterbatasan aktifitas sehubungan dengan penurunan kesadaran (soporos - coma)   
5.    Resiko tinggi gangguan integritas kulit sehubungan dengan immobilisasi, tidak adekuatnya sirkulasi perifer.

C. INTERVENSI

Tidak efektifnya pola napas sehubungan dengan depresi pada pusat napas di otak.
Tujuan :
Mempertahankan pola napas yang efektif melalui ventilator.
Kriteria evaluasi :
Penggunaan otot bantu napas tidak ada, sianosis tidak ada atau tanda-tanda hipoksia tidak ada dan gas darah dalam batas-batas normal.
Rencana tindakan :
·         Hitung pernapasan pasien dalam satu menit.  pernapasan yang cepat dari pasien dapat menimbulkan alkalosis respiratori dan pernapasan lambat meningkatkan tekanan Pa Co2 dan menyebabkan asidosis respiratorik.
·         Cek pemasangan tube, untuk memberikan ventilasi yang adekuat dalam pemberian tidal volume.
·         Observasi ratio inspirasi dan ekspirasi pada fase ekspirasi biasanya 2 x lebih panjang dari inspirasi, tapi dapat lebih panjang sebagai kompensasi terperangkapnya udara terhadap gangguan pertukaran gas.
·         Perhatikan kelembaban dan suhu pasien keadaan dehidrasi dapat mengeringkan sekresi / cairan paru sehingga menjadi kental dan meningkatkan resiko infeksi.
·         Cek selang ventilator setiap waktu (15 menit), adanya obstruksi dapat menimbulkan tidak adekuatnya pengaliran volume dan menimbulkan penyebaran udara yang tidak adekuat.
·         Siapkan ambu bag tetap berada di dekat pasien, membantu membarikan ventilasi yang adekuat bila ada gangguan pada ventilator.

Tidak efektifnya kebersihan jalan napas sehubungan dengan penumpukan sputum.
Tujuan :
Mempertahankan jalan napas dan mencegah aspirasi
Kriteria Evaluasi :
Suara napas bersih, tidak terdapat suara sekret pada selang dan bunyi alarm karena peninggian suara mesin, sianosis tidak ada.
Rencana tindakan :
·         Kaji dengan ketat (tiap 15 menit) kelancaran jalan napas. Obstruksi dapat disebabkan pengumpulan sputum, perdarahan, bronchospasme atau masalah terhadap tube.
·         Evaluasi pergerakan dada dan auskultasi dada (tiap 1 jam ). Pergerakan yang simetris dan suara napas yang bersih indikasi pemasangan tube yang tepat dan tidak adanya penumpukan sputum.
·         Lakukan pengisapan lendir dengan waktu kurang dari 15 detik bila sputum banyak. Pengisapan lendir tidak selalu rutin dan waktu harus dibatasi untuk mencegah hipoksia.
·         Lakukan fisioterapi dada setiap 2 jam. Meningkatkan ventilasi untuk semua bagian paru dan memberikan kelancaran aliran serta pelepasan sputum.


Gangguan perfusi jaringan otak sehubungan dengan udem otak
Tujuan :
Mempertahankan dan memperbaiki tingkat kesadaran fungsi motorik.
Kriteria hasil :
Tanda-tanda vital stabil, tidak ada peningkatan intrakranial.
Rencana tindakan :
Monitor dan catat status neurologis dengan menggunakan metode GCS.
Refleks membuka mata menentukan pemulihan tingkat kesadaran.
Respon motorik menentukan kemampuan berespon terhadap stimulus eksternal dan indikasi keadaan kesadaran yang baik.
Reaksi pupil digerakan oleh saraf kranial oculus motorius dan untuk menentukan refleks batang otak.
Pergerakan mata membantu menentukan area cedera dan tanda awal peningkatan tekanan intracranial adalah terganggunya abduksi mata.

Monitor tanda-tanda  vital tiap 30 menit.
Peningkatan sistolik dan penurunan diastolik serta penurunan tingkat kesadaran dan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial. Adanya pernapasan yang irreguler indikasi terhadap adanya peningkatan metabolisme sebagai reaksi terhadap infeksi. Untuk mengetahui tanda-tanda keadaan syok akibat perdarahan.

Pertahankan posisi kepala yang sejajar dan tidak menekan.
Perubahan kepala pada satu sisi dapat menimbulkan penekanan pada vena jugularis dan menghambat aliran darah otak, untuk itu dapat meningkatkan tekanan intrakranial.

Hindari batuk yang berlebihan, muntah, mengedan, pertahankan pengukuran urin dan hindari          konstipasi yang berkepanjangan.
Dapat mencetuskan respon otomatik penngkatan intrakranial.

Observasi kejang dan lindungi pasien dari cedera akibat kejang.    
Kejang terjadi akibat iritasi otak, hipoksia, dan kejang dapat meningkatkan tekanan intrakrania.
Berikan oksigen sesuai dengan kondisi pasien.
Dapat menurunkan hipoksia otak.

Berikan obat-obatan yang diindikasikan dengan tepat dan benar (kolaborasi).
Membantu menurunkan tekanan intrakranial secara biologi / kimia seperti osmotik diuritik untuk  menarik air dari sel-sel otak sehingga dapat menurunkan udem otak, steroid (dexametason) untuk menurunkan inflamasi,  menurunkan edema jaringan. Obat anti kejang untuk menurunkan kejang, analgetik untuk menurunkan rasa nyeri efek negatif dari peningkatan tekanan intrakranial. Antipiretik untuk menurunkan panas yang dapat meningkatkan pemakaian oksigen otak.

Keterbatasan aktifitas sehubungan dengan penurunan kesadaran (soporos - coma )
Tujuan :
Kebutuhan dasar pasien dapat terpenuhi secara adekuat.
Kriteria hasil :
Kebersihan terjaga, kebersihan lingkungan terjaga, nutrisi terpenuhi sesuai dengan kebutuhan, oksigen adekuat.
Rencana Tindakan :
      Berikan penjelasan tiap kali melakukan tindakan pada pasien.
Penjelasan dapat mengurangi kecemasan dan meningkatkan kerja sama yang dilakukan pada pasien dengan kesadaran penuh atau menurun.
Beri bantuan untuk memenuhi kebersihan diri.
Kebersihan perorangan, eliminasi, berpakaian, mandi, membersihkan mata dan kuku, mulut, telinga, merupakan kebutuhan dasar akan kenyamanan yang harus dijaga oleh perawat untuk meningkatkan rasa nyaman, mencegah infeksi dan keindahan.

Berikan bantuan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dan cairan.
Makanan dan minuman merupakan kebutuhan sehari-hari yang harus dipenuhi untuk menjaga kelangsungan perolehan energi. Diberikan sesuai dengan kebutuhan pasien baik jumlah, kalori, dan waktu.

Jelaskan pada keluarga tindakan yang dapat dilakukan untuk menjaga lingkungan yang aman dan bersih.
Keikutsertaan keluarga diperlukan untuk menjaga hubungan klien - keluarga. Penjelasan perlu agar keluarga dapat memahami peraturan yang ada di ruangan.

Berikan bantuan untuk memenuhi kebersihan dan keamanan lingkungan.
Lingkungan yang bersih dapat mencegah infeksi dan kecelakaan.

Kecemasan keluarga sehubungan keadaan yang kritis pada pasien.
Tujuan :
Kecemasan keluarga dapat berkurang
Kriteri evaluasi :
Ekspresi wajah tidak menunjang adanya kecemasan
Keluarga mengerti cara berhubungan dengan pasien
Pengetahuan keluarga mengenai keadaan, pengobatan dan tindakan meningkat.
Rencana tindakan :
·         Bina hubungan saling percaya.
Untuk membina hubungan terpiutik perawat - keluarga.
Dengarkan dengan aktif dan empati, keluarga akan merasa diperhatikan.
·         Beri penjelasan tentang semua prosedur dan tindakan yang akan dilakukan pada pasien.
Penjelasan akan mengurangi kecemasan akibat ketidak tahuan.
·         Berikan kesempatan pada keluarga untuk bertemu dengan klien.
Mempertahankan hubungan pasien dan keluarga.
·         Berikan dorongan spiritual untuk keluarga.
      Semangat keagamaan dapat mengurangi rasa cemas dan meningkatkan keimanan dan                ketabahan dalam menghadapi krisis.

Resiko tinggi gangguan integritas kulit sehubungan dengan immobilisasi, tidak adekuatnya sirkulasi perifer.
Tujuan :
Gangguan integritas kulit tidak terjadi
Rencana tindakan :
·         Kaji fungsi motorik dan sensorik pasien dan sirkulasi perifer untuk menetapkan kemungkinan terjadinya lecet pada kulit.
·         Kaji kulit pasien setiap 8 jam : palpasi pada daerah yang tertekan.
·         Berikan posisi dalam sikap anatomi dan gunakan tempat kaki untuk daerah yang menonjol.
·         Ganti posisi pasien setiap 2 jam
·         Pertahankan kebersihan dan kekeringan pasien : keadaan lembab akan memudahkan terjadinya kerusakan kulit.
·         Massage dengan lembut di atas daerah yang menonjol setiap 2 jam sekali.
·         Pertahankan alat-alat tenun tetap bersih dan tegang.
·         Kaji daerah kulit yang lecet untuk adanya eritema, keluar cairan setiap 8 jam.
·         Berikan perawatan kulit pada daerah yang rusak / lecet setiap 4 - 8 jam dengan menggunakan H2O2.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Doenges M.E. (1989) Nursing Care Plan, Guidlines for Planning Patient Care (2 nd ed ). Philadelpia, F.A. Davis Company.

Long; BC and Phipps WJ (1985) Essential of Medical Surgical Nursing : A Nursing Process Approach St. Louis. Cv. Mosby Company.

Asikin Z (1991) Simposium Keperawatan Penderita Cedera Kepala.  Panatalaksanaan Penderita dengan Alat Bantu Napas, Jakarta.

Harsono (1993) Kapita Selekta Neurologi, Gadjah Mada University Press